Syaifuddin Nasution Jadi Menteri Dalam Negeri Malaysia, Penungguan Kabinet dari Batak Muslim di Akhir Masa Jokowi Belum Berakhir

Masuknya Syaifuddin Nasution dalam jajaran kabinet Malaysia yang diumumkan PM Anwar Nasution menjadi kabar gembira di kalangan Batak Muslim. (Baca selanjutnya).

Apalagi posisi yang diemban adalah Menteri Dalam Negeri yang nota bene bisa disebut menjadi orang nomor dua di kabinet.

Sekilar orang masih bertanya mengapa sampai sekarang Presiden Joko Widodo belum melirik tokoh Batak Muslim untuk menduduki jabatan kabinet meski diakhir tugasnya?

Apakah penurunan kualitas SDM di kalangan Batak Muslim sudah begitu parah ataukah adanya anggapan dari bahwa Batak Muslim sudah begitu makmur jadi tidak perlu dilibatkan lagi di kabinet?

Pada awal masa jabatan Jokowi-JK banyak pihak yang mempertanyakan hal itu dengan keras. Apalagi saat itu sosok Batak secara umum tidak kelihatan bersama Muhammadiyah. (Lihat artikelnya).

Pertanyaan itu wajar terjadi karena sejak kemerdekaan orang Batak dan Muhammadiyah selalu menjadi bagian dari kabinet. Tidak perlu untuk memperdebatkan apa jasa dan kemampuan mereka karena toh itu sudah menjadi fakta sejarah.

Di luar Jawa dan Sunda, etnis Batak berjumlah 8,5 juta. Setengahnya Muslim dan itu masih lebih banyak dari Aceh.

Syukurlah suara itu diakomodasi oleh Jokowi dengan memasukkan Luhut B Panjaitan dan belakangan Juliari Batubara, politikus PDIP yang kemudian menjadi tersangka korupsi.

Meski pembahasan ini jarang dilakukan secara terang-terangan, terdapat tiga kader HKBP di dua periode sementara tak satupun dari Batak Muslim. Sebelumnya, Darmin Nasution juga menjadi menteri namun dia dianggap bagian dari teknokrat karena latar belakang ASN.

Apakah ini sebuah kesengajaan atau sebuah 'kebetulan' atau kelalaian?

Untuk menyebut itu sebuah kelalaian adalah sesuatu yang sangat naif dan tidak sopan, karena semestinya itu sudah pengetahuan publik.

Namun, untuk menyatakan itu adalah sebuah kesengajaan juga tidak baik. Apalagi Jokowi tidaklah mempunyai sejarah sentimen buruk kepada orang Batak Muslim, apalagi menantunya mafga Nasution.

Dan, untuk menarasikannya bahwa orang Batak Muslim sudah sebegitu makmurnya, sehingga tak perlulah dilibatkan di kabinet, itu juga tak sepenuhnya benar.

Dan tidak perlu lupa berdebat jumlah angka kemiskinan di kalangan Bagak Muslim karena itu akan menjadi pembahasan yang tak ada ujungnya. Toh, Jokowi tetap mentradisikan adanya menteri dari kalangan Tionghoa yang sekarang diwakilkan Erick Thohir meski bukan rahasia lagi warga Tionghoalah paling makmur di Indonesia.

Namun marilah instrospeksi bahwa ini mungkin kombinasi kebetulan dan kesengajaan.

Mengapa ini menjadi sebuah kebetulan?

Pertama, selain fenomena milaiter dan Darmin Nasution yang menjabat menteri karena posisinya di birokrasi Kementerian Keuangan, semua kekuatan Batak Muslim bertumpu di Golkar pada gerbong Akbar Tanjung.

Coba lihat siapa saja kalangan Batak Muslim yang duduk di kabinet sejak awal kemerdekaan sampai sekarang. 

Orang Batak terakhir menjadi menteri dari militer adalah Sudi Silalahi. Orang Batak terakhir yang duduk sebagai menteri adalah era Akbar Tanjung yang saat itu ada juga Mahadi Sinambela dkk.

Setelah itu tidak ada. Orang Batak Muslim banyak yang mandek karir nya di partai politik. Di Golkar sudah habis. Di PDIP apalagi. Di Gerindra juga memang tidak ada sejak awal. Di Demokrat masih ada tapi partai ini berada di pihak oposisi. 

Yang ada malah di PKS saat Tifatul Sembiring menjadi mengeri era SBY.

Uniknya, justru di PAN dan PPP banyak orang Batak Muslim yang menduduki jabatan penting namun tidak berada pada level yang harus dinominasikan menjadi menteri.

Kedua, meski orang Batak selalu menjadi tidak terpisahkan dari kabinet, namun secara keseluruhan porsi Sumatera menjadi perhitungan secara umum di politik Indonesia.

Sejak awal porsi Sumatera selalu diwakili warga Minangkabau dan Batak. Itu selain Aceh yang dianggap harus memang ada karena alasan khusus seperti untuk mencegah memisahkan diri sebagaimana porsi Papua dan Bali.

Di kabinet Jokowi porsi Minang memang tidak hilang. Ada Arcandra Tahar, Andrinof Chaniago, Nila Moeloek dan Siti Nurbaya Bakar.

Namun ada faktor lain yang juga berpengaruh pada hilangnya pengaruh orang Batak Muslim, yaitu menguatnya sosok politik dari Jawa dan Indonesia Timur.

Dulu ada PM atau wakil dari Batak Muslim seperti Burhanuddin Harahap, Zainul Arifin dll. Ada tokoh dengan level tinggi seperti AH Nasution. Namun untuk saat ini hampir tidak ada. Bahkan untuk capres pun tak ada. Beda dengan Indonesia Timur seperti Sandiaga Uno-nya. Jawa sudah pasti ada Ganjar, Prabowo, Cak Imin, Mahfud MD, Puan, Khofifah dll. Ada Ridwan Kamil mewakili Sunda.

Ada satu tokoh Batak Muslim yang namanya cukup teratas yakni Ustad Abdul Somad Batubara. Namun, dia bukan merupakan sosok politik yang masuk dalam perhitungan mainstream.

Apakah perlu Jokowi memasukkan orang Batak Musalim di kabinet sebelum masa jabatan Jokowi berakhir? 

Jawabnnya bisa iya bisa tidak.

Tidak dalam arti jika hak prerogatif menyatakan tidak ya tidak.

Namun bisa juga menjadi perlu jika Jokowi ingin merangkul semua pihak.

Pertanyaannya begini? Apakah suatu saat nanti ada seorang Presiden siapaun dia dan dari latar belakang apapun akan membuat susunan kabinet tanpa memasukkan tokoh dari Jawa. Apakah bisa diterima? Bisa.

Itu hak prerogatif. 

Namun apakah suasana kebatinan orang Jawa bisa menerimanya? Belum tentu.

Jika Jokowi ingin memasukkan orang Batak Muslim di kabinet berikut bebeapa rekomendasi.

1. Ust Abdul Somad Batubara
2. Amirsyah Tambunan (MUI) tokoh Muhammadiyah bisa untuk merotasi Muhadjir Effendy
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan 
3. Brigjen Edy Natar Nasution
4. Bobby Nasution
5. Saleh Partaonan Daulay

Dll










Post a Comment

0 Comments