Pertemuan antara pejabat tinggi Yordania dan Suriah baru-baru ini membuka lembaran baru dalam kerja sama infrastruktur energi kawasan. Disiarkan langsung oleh Syria TV, pertemuan ini menggarisbawahi rencana ambisius kedua negara untuk menghubungkan jaringan listrik, pasokan gas, dan bahkan distribusi air lintas batas. Yang menarik, proyek ini bukan hanya mencerminkan pemulihan hubungan Damaskus dan Amman, tetapi juga melibatkan peran Qatar sebagai pemasok utama energi, dengan jalur distribusi yang unik: tidak melalui darat via Saudi, melainkan melalui pelabuhan Aqabah milik Yordania.
Proyek ini diyakini akan memulihkan sebagian besar infrastruktur energi yang rusak selama perang di Suriah. Yordania akan bertindak sebagai simpul logistik utama, sementara Suriah menjadi jalur transit strategis ke arah utara. Qatar, yang selama ini dikenal sebagai eksportir gas alam cair (LNG) terbesar di dunia, memanfaatkan momen ini untuk menanamkan pengaruhnya lewat jalur pengapalan LNG ke Aqabah, kemudian disalurkan ke Suriah melalui pipa dari Yordania.
Yordania menjadi penerima manfaat utama dalam proyek ini. Selama bertahun-tahun, Amman mengimpor energi dengan harga tinggi, bergantung pada suplai dari Mesir, Israel, bahkan dari ladang gas sendiri yang terbatas. Dengan membuka jalur baru dari Qatar melalui pelabuhan Aqabah, Yordania memperoleh sumber energi alternatif yang stabil, murah, dan politiknya netral. Ini adalah langkah besar menuju kemandirian energi nasional yang selama ini sulit tercapai.
Di sisi lain, Suriah memperoleh insentif ekonomi dan politik. Jalur pipa yang menghubungkan kedua negara bisa memberikan pemasukan lewat tarif transit dan memperkuat posisi Damaskus di peta logistik energi kawasan. Di tengah embargo dan sanksi, partisipasi Suriah dalam jalur gas dan listrik ini menjadi simbol reintegrasi regional secara de facto, tanpa harus menunggu normalisasi diplomatik penuh dari negara-negara Arab lain.
Salah satu pertanyaan penting yang muncul adalah: mengapa Qatar memilih jalur laut ke Aqabah dan distribusi darat ke Suriah, alih-alih menggunakan jalur darat langsung dari wilayah Saudi? Jawabannya terletak pada realitas geopolitik dan logistik. Jalur darat Qatar–Saudi–Yordania membutuhkan koordinasi lintas batas yang kompleks dan sarat kepentingan. Meskipun hubungan Qatar dan Saudi telah membaik pasca blokade Teluk, kerja sama logistik darat masih belum sepenuhnya bebas dari tensi dan batasan diplomatik.
Saudi juga memiliki kepentingan energinya sendiri dan cenderung ingin menjaga dominasi dalam ekspor energi kawasan. Jika Qatar menggunakan jalur darat melalui Saudi, maka Riyadh berpotensi menetapkan tarif, kendali distribusi, atau bahkan syarat politis tertentu. Ini jelas bertentangan dengan semangat Qatar yang ingin mempertahankan kendali penuh atas pasokan dan distribusi gasnya. Oleh karena itu, pelabuhan Aqabah menjadi alternatif ideal yang sepenuhnya di luar kendali Riyadh.
Pelabuhan Aqabah memberikan fleksibilitas maksimum bagi Qatar. Melalui pengapalan LNG langsung ke terminal Yordania, Doha tidak hanya menghindari kendala politik di Saudi, tetapi juga mempercepat proses pengiriman tanpa bergantung pada infrastruktur pipa lintas gurun Saudi yang mahal dan rentan. Terminal LNG Aqabah yang telah dikembangkan sejak 2015 memungkinkan proses regasifikasi cepat sebelum gas dialirkan ke jaringan nasional Yordania, lalu ke Suriah.
Alasan lainnya adalah ketidakstabilan Lebanon dan dominasi Rusia di pelabuhan Suriah seperti Tartus dan Latakia. Qatar menghindari rute yang berisiko tinggi atau berada di bawah kendali aktor non-regional. Maka rute Aqabah–Amman–Damaskus menjadi jalur yang paling netral secara politik, dan realistis secara logistik.
Bagi Yordania, proyek ini juga membuka peluang untuk menjadi simpul transit energi kawasan. Dengan koneksi ke Suriah, Irak, dan dalam jangka panjang mungkin ke Lebanon dan Turki, Amman bisa memosisikan dirinya sebagai hub energi regional, mirip peran yang dimainkan oleh Turki di jalur gas Rusia dan Azerbaijan ke Eropa.
Dari sisi Qatar, strategi ini merupakan langkah cerdas untuk memperluas pengaruh tanpa konfrontasi langsung. Lewat kerja sama teknis dan ekonomi, Qatar menciptakan ketergantungan baru yang lebih halus dibanding aliansi militer atau diplomasi formal. Qatar masuk lewat energi, dan energi adalah kebutuhan yang jarang ditolak, bahkan oleh negara-negara yang secara politik masih berhati-hati.
Proyek jaringan gas dan listrik ini juga memberi sinyal penting bahwa transformasi kawasan tidak selalu harus diawali dari meja diplomasi. Justru lewat infrastruktur dan kepentingan ekonomi bersama, aktor-aktor yang dulu saling berseberangan kini menemukan alasan rasional untuk bekerja sama. Qatar sebagai sponsor, Yordania sebagai pengelola, dan Suriah sebagai mitra transit menjadi struktur tiga serangkai yang menarik untuk masa depan Timur Tengah.
Dengan menghindari rute Saudi dan mengabaikan pelabuhan-pelabuhan yang dikendalikan Rusia, proyek ini juga menunjukkan arah baru dalam arsitektur energi dunia Arab. Ada kecenderungan menjauh dari monopoli tradisional dan menuju model jaringan yang lebih cair dan multi-poros. Ini adalah kabar baik bagi negara-negara seperti Yordania dan Suriah yang butuh ruang gerak lebih luas tanpa terlalu banyak tekanan politik eksternal.
Ke depan, keberhasilan proyek ini akan menjadi contoh penting bagi kerja sama energi berbasis pragmatisme. Bila berhasil, bukan tidak mungkin jalur ini diperluas hingga ke Irak, Lebanon, bahkan Turki. Integrasi semacam ini tidak hanya akan menciptakan stabilitas ekonomi, tetapi juga memperkuat ketahanan politik kawasan dari intervensi luar.
Dengan segala tantangannya, proyek ini tetap menjadi bukti bahwa kerja sama kawasan bisa dibangun lewat pipa dan kabel, bukan hanya lewat pertemuan puncak dan perjanjian damai. Amman dan Damaskus kini terhubung kembali, dan jalur itu justru dibuka oleh energi. Sebuah awal baru di tengah reruntuhan lama.
0 Comments