Posisi Tipu Sultan dalam Kerajaan Mysore, India

Kerajaan Mysore abad ke-18 merupakan pemerintahan yang unik khususnya dalam hubungan Tipu Sultan dan Dinasti Wodeyar dalam bingkai politik modern. Analogi itu mengungkapkan bagaimana kekuasaan de facto dan simbolik bisa tetap berdampingan tanpa meruntuhkan struktur negara sepenuhnya. Penguasa Muslim Hyder Ali dan putranya Tipu Sultan memegang kendali penuh atas mesin negara, sementara raja Hindu Wodeyar dibiarkan bertahan sebagai lambang kontinuitas.

Penelitian mutakhir dari kampus-kampus Bengaluru menunjukkan bahwa Tipu Sultan, yang memerintah 1782-1799, mempraktikkan kekuasaan mirip kepala negara absolut. Ia menandatangani perjanjian luar negeri, mereformasi perpajakan, dan mencetak mata uang atas namanya sendiri. Keberadaan raja Wodeyar dalam istana hanya menjadi aksesori legitimasi, terutama untuk meredam resistensi kelompok-kelompok Hindu yang masih menganggap tahta suci.

Pakar hubungan internasional sejarawan menilai format ini serupa dengan Iran pasca-1979. Di Teheran, presiden dan parlemen tetap berfungsi, namun keputusan strategis ditempa di kantor Pemimpin Tertinggi. Sama seperti Tipu, Ayatollah Khamenei memegang kendali militer, intelijen, dan diplomasi, membuat presiden cenderung tampak seremonial pada isu keamanan.

Di Asia Tenggara, kemiripannya tercermin dalam Myanmar kurun 2021. Junta militer yang digerakkan Jenderal Min Aung Hlaing mengambil alih pemerintahan sambil membiarkan struktur sipil bertahan di atas kertas. Dunia menyaksikan betapa cepat sebuah jabatan simbolik kehilangan bobot saat senjata berbicara lebih nyaring.

Di Jepang,  sistem ini mengingatkan pada situasi pra-Restorasi Meiji tempat Shogun Tokugawa sejatinya mengontrol negeri, sedangkan Kaisar di Kyoto bak ikon budaya semata. Perbandingan itu menyoroti pentingnya memahami rangkap kekuasaan: satu entitas memerintah, satu lagi melegitimasi.

Jejak Tipu tetap dibahas karena ia tidak pernah menanggalkan status raja Hindu secara formal. Langkah itu dianggap cerdik untuk menjaga stabilitas sosial di wilayah mayoritas non-Muslim. Namun catatan Belanda dan Inggris menunjukkan sejumlah pemberontakan lokal terus membara, menandakan simbol tidak selalu cukup sebagai penawar.

Kekalahan Tipu dalam Perang Mysore Keempat 1799 mengakhiri eksperimen unik dualitas ini. Inggris memulihkan Wodeyar sebagai penguasa, menjadikannya kerajaan vasal di bawah East India Company. Kondisi itu bertahan hingga integrasi ke dalam Uni India tahun 1947, menutup babak panjang pergumulan dua rezim dalam satu mahkota.

Sejarawan Mysuru mengkaji apakah model Tipu-Wodeyar bisa diterapkan dalam transisi pemerintahan modern. Beberapa peneliti menyebutnya resep tunda konflik, sementara lainnya melihatnya sumber disharmoni laten. Debat semakin relevan saat negara-negara pascakonflik mencari formula berbagi kekuasaan yang efektif.

Menurut sebagian sosiolog, keberhasilan skema itu amat bergantung pada figur penguasa. Karisma dan kemampuan militer Tipu menutup celah perebutan otoritas, sesuatu yang gagal disalin banyak rezim modern. Begitu sang pemimpin tumbang, struktur simbolik tak lagi mampu menyangga kestabilan.

Meski demikian, warisan Tipu memicu diskusi mengenai konsep “raja boneka”. Istilah itu kini kerap disematkan pada kepala negara yang berdaulat di atas kertas namun terkekang patron asing atau domestik. Kerajaan Mysore menjadi contoh historis bahwa boneka bukan selalu ciptaan kolonial, melainkan bisa lahir dari kalkulasi politik internal.

Pemerintah Karnataka tengah menimbang menjadikan benteng Srirangapatna, markas Tipu, sebagai situs warisan dunia UNESCO. Langkah itu tidak luput dari kontroversi, mengingat persepsi publik terbelah: bagi sebagian, Tipu pahlawan antikolonial; bagi lainnya, ia tiran yang menekan komunitas non-Muslim.

Ketegangan narasi serupa muncul di Iran dan Myanmar, menegaskan bahwa perebutan memori kolektif tak kalah sengit dari perebutan wilayah. Akademisi menyarankan pendekatan lintas disiplin untuk menimbang ulang label “pahlawan” dan “penjajah” di tiap periode.

Studi komparatif juga memicu perdebatan soal legitimasi religius. Meski Tipu mengusung panji Islam, ia tidak menghapus lembaga Hindu sepenuhnya. Sikap itu berbeda dengan kebijakan junta Myanmar terhadap partai Aung San Suu Kyi yang dibubarkan total, menandakan variasi strategi dominasi.

Dalam konteks hukum internasional, kasus Mysore menambah contoh ketika otoritas de facto berjalan tanpa deklarasi konstitusional. Hal serupa terlihat pada pemerintahan Taliban di Afghanistan 1996-2001 dan 2021-sekarang, menegaskan celah antara pengakuan internasional dan fakta lapangan.

Para ekonom menilai kebijakan fiskal Tipu terbilang progresif. Ia menghapus beberapa pungutan feodal dan memperkenalkan pajak tanah seragam, mencerminkan kebutuhan sumber daya militer yang besar. Reformasi ekonomi itulah yang kemudian dirombak East India Company, menghadirkan sistem revenue settlement ala kolonial.

Melalui lensa keamanan, disoroti inovasi artileri roket Tipu yang merepotkan Inggris. Senjata itu kelak menginspirasi teknologi Congreve Rockets di Eropa, menunjukkan ironi: musuh yang dikalahkan berkontribusi pada kemajuan militer penakluknya.

Di ranah diplomasi, Tipu merintis koalisi anti-British bersama Prancis dan Kekhalifahan Utsmaniyah. Upaya ini merefleksikan kecenderungan penguasa de facto untuk mencari sekutu eksternal guna mengimbangi kekuatan tradisional. Pola itu tetap terlihat dalam politik abad ke-21, di mana aktor non-negara mencari legitimasi global.

Kementerian Pendidikan India mempersiapkan kurikulum sejarah baru yang menempatkan Tipu dalam konteks lebih luas, mengurangi fokus semata pada konflik agama. Langkah ini diharapkan menghindari polarisasi identitas dan mengedepankan aspek teknologi serta diplomasi yang sering terabaikan.

Pada akhirnya, kisah Tipu Sultan dan Raja Wodeyar mengajarkan dua hal: pentingnya memahami lapisan kekuasaan formal dan informal, serta betapa rapuhnya model yang bergantung pada figur tunggal. Tanpa reformasi struktural, keberlangsungan negara akan selalu dipertaruhkan saat layar panggung berubah.

Sejarah Mysore menegaskan bahwa kekuasaan simbolik dapat bertahan jika diimbangi kehati-hatian politik. Namun begitu ketidakseimbangan melebar, perubahan cepat menjadi keniscayaan. Fenomena ini memberi cermin bagi banyak negara kontemporer yang masih mencari titik temu antara legitimasi historis dan tuntutan modernitas.

Masyarakat Karnataka hari ini menikmati warisan budaya Wodeyar, mulai arsitektur istana hingga festival Dasara. Sementara itu, nama Tipu tetap menggema di museum, literatur, dan diskursus politik. Dualitas itulah yang menjadikan Mysore unik: sejarahnya bercerita tentang satu wilayah, dua takhta, dan pelajaran panjang tentang seni mengelola bayang-bayang kekuasaan.

Baca selanjutnya

https://indonesia-startup.blogspot.com/2025/07/posisi-tipu-sultan-dalam-kerajaan.html?m=1

https://www.facebook.com/share/p/197uDY2U2J/

Post a Comment

0 Comments