Suriah Siap Bangkit Lewat Dana dan Inovasi


Rekonstruksi Suriah pasca-perang kini memasuki babak baru dengan diluncurkannya Dana Pembangunan Suriah. Program ini dirancang untuk mempercepat pemulihan negara yang hancur selama 14 tahun konflik. Dana ini memfokuskan pada pembangunan rumah, sekolah, masjid, dan infrastruktur vital, sekaligus mendorong kembalinya pengungsi ke kampung halaman mereka.

Dalam peluncurannya, pemerintah menekankan transparansi dan akuntabilitas. Setiap penggunaan dana akan diumumkan secara terbuka agar publik dan donor internasional dapat memantau progres rekonstruksi. Strategi ini mirip dengan prinsip penggalangan dana pada era Ottoman, seperti pembangunan Hijaz Railway, yang mengandalkan partisipasi masyarakat luas dan jaringan diaspora.

Berbeda dengan era Ottoman, teknologi modern memungkinkan Dana Pembangunan Suriah memanfaatkan media sosial, transfer internasional, dan platform digital untuk menjangkau donor global. Transparansi dan laporan real-time menjadi nilai tambah untuk menarik perhatian internasional dan meningkatkan kepercayaan publik.

Namun, dana ini belum berbentuk Sovereign Wealth Fund (SWF) karena fokusnya lebih pada pemulihan darurat daripada investasi jangka panjang. Struktur investasi formal dan diversifikasi portofolio belum diterapkan, sehingga dana ini lebih menekankan kecepatan dan efektivitas proyek.

Beberapa pengamat menyarankan agar Suriah mempertimbangkan pembentukan SWF di masa depan. Jika stabilitas politik dan ekonomi terjaga, SWF dapat menjadi instrumen jangka panjang untuk mendukung pembangunan infrastruktur dan industri strategis.

Sementara itu, penggunaan saham BUMN ala model Danantara Indonesia juga menjadi opsi menarik. Menggabungkan saham BUMN ke dalam dana rekonstruksi bisa memobilisasi aset negara sekaligus menciptakan sumber pendanaan berkelanjutan. Namun, kondisi BUMN Suriah saat ini masih rapuh, sehingga pendekatan ini baru realistis di tahap jangka menengah.

Selain itu, pasar modal Suriah belum stabil dan likuid. Tanpa bursa saham yang sehat, investor akan menghadapi risiko tinggi, termasuk kesulitan menjual saham atau nilai aset yang tidak jelas. Regulasi yang lemah juga menambah risiko penyalahgunaan dana.

Dana Pembangunan Suriah saat ini lebih mengandalkan donasi langsung dari masyarakat dan diaspora, strategi yang lebih cepat dan fleksibel untuk pemulihan darurat. Model ini memanfaatkan solidaritas komunitas dan partisipasi publik sebagai kekuatan utama dalam membangun kembali desa dan kota. Presiden Ahmed Al Sharaa menekankan bahwa pemerintahannya tidak akan mengandalkan dana pinjaman dari IMF, Bank Dunia atau lembaga lainnya yang sifatnya utang karena bisa mengancam masa depan Suriah.

Berbagai desa dan perkampungan di Suriah juga memanfaatkan media sosial untuk kampanye rekonstruksi. Mereka menggalang dana mandiri untuk pengungsi dan menyediakan jasa perbaikan rumah, masjid, dan sekolah sebelum warga kembali. Strategi ini menekankan keterlibatan langsung masyarakat dan rasa memiliki terhadap desa.

Yayasan dan muassassh memainkan peran penting dalam memfasilitasi kampanye ini. Lembaga-lembaga sosial mengelola pengumpulan dana secara profesional, memastikan transparansi, dan menyalurkan bantuan ke desa dan kamp pengungsi yang paling membutuhkan.

Selain itu, perusahaan properti mulai mengambil peran dalam rekonstruksi desa. Model ini mengundang investor atau calon penghuni untuk membeli rumah di desa yang relatif aman, sehingga pemulihan ekonomi berjalan beriringan dengan pembangunan fisik.

Perkampungan yang memanfaatkan model properti biasanya adalah wilayah pendukung eks rezim Bashar Al Assad atau komunitas minoritas, seperti Kristen, Syiah, atau Alawiyah, yang desanya tak terdampak konflik namun menjadi sepi karena pergantian pemerintahan. Strategi ini lebih menekankan keberlanjutan ekonomi dan stabilitas sosial dibandingkan bantuan sosial murni.

Media sosial menjadi alat efektif untuk mempromosikan proyek properti dan rekonstruksi. Foto, video, dan kisah warga digunakan untuk menarik perhatian investor dan donor, sekaligus menumbuhkan rasa solidaritas masyarakat global.

Kampanye berbasis media sosial juga menekankan pembangunan masjid dan sekolah sebagai simbol kebangkitan. Pendidikan dan kegiatan keagamaan dianggap vital untuk memulihkan normalitas dan memperkuat identitas komunitas.

Penggalangan dana melalui media sosial membantu memperkuat jaringan diaspora. Pengungsi Suriah di berbagai negara ikut memberikan dukungan finansial maupun logistik, menciptakan ikatan kuat antara warga di dalam negeri dan luar negeri.

Keberhasilan kampanye ini menekankan bahwa rekonstruksi bisa dimulai dari bawah, melalui inisiatif masyarakat dengan dukungan yayasan dan sektor swasta. Desa-desa terdampak perang bisa menjadi contoh adaptasi kreatif pasca-konflik.

Transparansi dan akuntabilitas menjadi faktor kunci. Pengelolaan dana yang baik memastikan proyek berjalan sesuai rencana dan menarik minat donor untuk berinvestasi lebih banyak.

Model hybrid yang menggabungkan donasi, investasi properti, dan potensi saham BUMN bisa menjadi langkah selanjutnya. Strategi ini menjanjikan pembiayaan berkelanjutan dan pembangunan jangka panjang.

Jika dijalankan dengan disiplin, Suriah memiliki peluang menjadi negara maju yang disegani, dengan ekonomi kuat, masyarakat stabil, dan posisi geopolitik yang diperhitungkan.

Sebaliknya, kegagalan dalam mengelola dana dan rekonstruksi dapat menjebak Suriah dalam kemiskinan berkepanjangan, mirip “Somalia baru” yang terperangkap konflik dan ketergantungan bantuan internasional.

Masa depan Suriah bergantung pada keberhasilan kombinasi strategi dana pembangunan, penggalangan masyarakat, pengelolaan yayasan, dan investasi properti. Keputusan yang diambil saat ini akan menentukan apakah Suriah akan bangkit atau tetap terperangkap dalam krisis.

Post a Comment

0 Comments